PERANG SABIL (Menilik sebuah kisah perang yang mulia di negeri kita ini)
LELAKIMATANG | Palestina pada zaman ini mungkin tidak jauh berbeda dengan Aceh zaman dulu. Apa yang terjadi di Palestina adalah penjajahan, penghancuran, pembantaian massal, ethnic cleansing, benturan agama dan ideologi, pergolakan kepentingan politik dan ekonomi, serta banyak lagi yang lain. Kaum zionis Yahudi Israel tanpa henti menghancurkan kaum muslim Palestina (bahkan bukan hanya muslim, mereka juga membunuh Kristen) demi hawa nafsu mereka. Hal seperti itulah yang terjadi di Aceh pada abad ke-19. Ketika itu pada tahun 1873 armada perang Belanda yang berada di bawah pimpinan Jenderal Kohler mendarat di pantai Ceureumen bersama dengan sekitar 3000 personel angkatan perang Belanda bersenjata lengkap, membawakan kabar perang. Sebuah perang yang mengawali kengerian, kesombongan dan angkara murka yang digelarkan penjajah Belanda di atas daratan Aceh, yang membuatnya seperti Palestina pada masa kita ini. Dan perang itu kemudian dikenal sebagai Perang Aceh (De Atjeh Oorlog) atau Prang Sabil (dalam lidah orang Aceh).
Perang Sabil adalah puncak pergolakan sengit selama bertahun-tahun di forum-forum tinggi Belanda di Den Haag, maupun di Batavia. Merupakan puncak pula dari upaya penaklukan Belanda terhadap daratan Sumatra yang awalnya bergerak dari selatan terus merayap menuju utara, dan ujungnya adalah Aceh.
Perang Sabil adalah puncak pergolakan sengit selama bertahun-tahun di forum-forum tinggi Belanda di Den Haag, maupun di Batavia. Merupakan puncak pula dari upaya penaklukan Belanda terhadap daratan Sumatra yang awalnya bergerak dari selatan terus merayap menuju utara, dan ujungnya adalah Aceh.
Tanpa menginjak daratan Aceh sama sekali, Niuwenhujzen, seorang
birokrat Belanda, mengultimatum Aceh dengan perang apabila Sultan Aceh
(saat itu Sultan Alaidin Mahmud Shah) tidak mau menyerahkan kekuasaan
Kesultanan Aceh kepada pemerintah Belanda. Orang-orang Aceh dengan
keteguhan dan keimanan yang tinggi jelas tidak sudi memenuhi tuntutan
Belanda tersebut. Sampai batas waktu ultimatum itu mereka tetap tidak
mau memenuhi permintaan Belanda. Hingga kemudian Belanda secara resmi
dan meyakinkan menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh, dengan
menembakkan meriam dari kapal perang mereka ke arah pelabuhan Ulee Lheu.
Dari sanalah mimpi buruk tentara Belanda dimulai, sebab mereka
sendirilah yang telah memulai perang terberat, terbesar, dan terlama,
dalam sejarah penjajahan mereka di nusantara.
Pasukan
Kohler terus merangsek maju perlahan-lahan ke tengah-tengah jantung
ibukota Kesultanan Aceh (Banda Aceh). Mereka sampai di hadapan Masjid
Raya Baiturrahman dan pecah perang di sana, masjid raya mereka bakar.
Namun orang Aceh pantang menyerah, dengan semangat jihad yang dikobarkan
para ulama dan para uleebalang (pemimpin wilayah yang disebut mukim
di Aceh pada abad ke-19) ribuan rakyat Aceh baik laki-laki maupun
perempuan, tua maupun muda, berhasil digerakkan untuk turun berperang
membela negeri dan agama mereka dari serbuan kaphe (kafir dalam bahasa Aceh). Perang itu begitu dahsyat, di dalamnya terkandung semangat, tekad, pengorbanan, keimanan, dan cinta.
Pada
gempuran yang pertama itu Belanda berhasil diusir dari tanah Aceh.
Tunggang langgang mereka melarikan diri ke pantai dan terus ke Batavia.
Kohler sendiri tewas di depan Masjid Raya Baiturrahman, di bawah pohon,
tertembak kepalanya.
Menelan pil pahit kekalahan, Belanda
mempersiapkan perang selanjutnya dengan lebih matang (perang yang lalu
dipersiapkan dengan terburu-buru). Di bawah komando Jenderal Jan van
Swieten, puluhan armada kapal perang Belanda mendaratkan ribuan tentara
reguler terlatih dan ribuan tentara bayaran yang direkrut dari para
pengangguran, kriminal, dan orang-orang hukuman di daratan Eropa, dengan
diming-imingi kebebasan dan uang. Mereka mengerahkan angkatan perang
yang jumlahnya belum pernah dikerahkan sepanjang sejarah penjajahan
Belanda di timur. Di pihak Aceh tak kalah bersemangatnya. Hampir separuh
dari jumlah penduduk Meulaboh berangkat ke Banda Aceh untuk berperang,
pasukan datang hampir dari seluruh wilayah Aceh, dan pertempuran sengit
pecah. Sayangnya kali ini upaya Belanda berhasil. Masjid Raya (yang
telah dibangun lagi) mereka hancurkan, Istana Sultan Aceh (Darud Dunya)
mereka taklukkan. Sultan Mahmud Shah lari ke Longbata dan meninggal di
perjalanan karena sakit.
Sebagai pemenang perang,
Van Swieten mengumumkan bahwa Aceh telah takluk, kekuasaan sultan Aceh
telah dibekukan dan diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda.
Kemenangan ini membawakan euforia di Belanda, mereka merasa telah
menaklukkan suatu bangsa. Kenyataan ini mengharuskan semua uleebalang di
sekitar Banda Aceh khususnya dan di seluruh Aceh umumnya untuk
menyerahkan diri ke Banda Aceh dan menyatakan kesetiaannya kepada
pemerintah Belanda. Barang siapa menolak wilayahnya akan ditaklukkan
dengan kekuatan senjata. Bendera tiga warna Belanda telah menggantikan
bendera Alam Peudeueng (bendera Kesultanan Aceh yang berwarna
merah dari Khilafah Ustmani, dengan gambar bulan sabit dan bintang serta
pedang di bawahnya). Dan di sinilah mimpi buruk Belanda dimulai, bahwa
penjajah tidak akan pernah berdiri tenang di atas tanah jajahannya,
karena perlawanan akan selalu ada, setidaknya di dalam dada setiap
manusia.
Perang Sabil berkobar, digerakkan oleh
ulama seperti Teungku Cik di Tiro, Teungku Kutakarang, Teungku Husein
Az-Zahir, Teungku Cik Pante Kulu, dll. Juga para uleebalang yang masih
lurus jalan pikirannya (tidak mau tunduk kepada Belanda) seperti
Panglima Polem, Teuku Nanta Seutia, Teuku Umar, Teuku Ibrahim Lamnga,
Teuku Ben Daud, dll. Para pejuang wanita Aceh pun memberikan peran yang
sangat besar, dan kegigihan mereka tak kalah dari kaum lelaki.
Tersebutlah Cut Nyak Din, Cut Meutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan,
dll. Untuk para perempuan Aceh ini seorang reporter perang Aceh
berkebangsaan Belanda bernama H.C. Zentgraff melaporkan bahwa para
perempuan Aceh memiliki kegigihan dan kebencian yang menyala-nyala
kepada Belanda. “Bahkan di saat terakhir mereka masih bisa meludahi
wajah si kafir.”
Pada perang ini pun beredar
syair-syair perang yang menggugah semangat, yang disarikan dari Al-Quran
dan hadis nabi. Dan yang paling populer adalah Hikayat Prang Sabil
karya Teungku Cik Pante Kulu. Ada juga Hikayat Prang Gompeuni karya
Dokarim. Syair-syair ini turut membakar semangat pejuang Aceh untuk
teguh berperang melawan penjajah. [LM]
Tidak ada komentar